Oleh Mundzar Fahman
Tulisan Sdr. Sulhawi Rubba yang berjudul "Catatan untuk FOSIIS, HMI Tidak Otomatis Muhammadiyah", secara sekilas, saya nilai baik. Sebab, di bagian akhir tulisan itu, Sulhawi menyinggung salah satu cara meredakan api perselisihan antar sesama golongan umat Islam, terutama antara Muhammadiyah dan NU. Saya sangat mendukung setiap langkah seseorang yang hendak mendamaikan umat Islam. Sejak masih di SLTP dulu, saya sudah mendambakan terciptanya ikhuwah Islarniyah (persaudaraan Islam) itu.
Tetapi, ketika tulisan Sulhawi itu saya baca dengan agak teliti, ternyata di dalam tulisan itu banyak terdapat ungkapan yang sama sekali tidak mendukung terciptanya ukhuwah Islamiyah itu. Bahkan, pada bagian-bagian tertentu dalam tulisan itu, justru malah menyulut bara perpecahan antara Muhammadiyah dan NU di satu pihak, dan antara HMI (Himpunan Mahasiswa Islaın) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) di pihak lain. Padahal, mereka itu sama-sama organisasi umat Islam. Dalam tulisan ini, nama Muhammadiyah dan HMI sengaja saya sebut lebih dulu daripada NU dan PMII. Ini semata-mata karena urutan abjad dan masa kelahirannya saja.
Yang saya kenal, Sulhawi Rubba adalah sarjana dari Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ia termasuk salah seorang anggota HMI. Saya tidak berani menyebut dia sebagai aktivis, sebab istilah ini saya kira kurang tepat baginya. Dan, melalui beberapa khotbahnya di masjid-masjid pada Jumat, saya berkesimpulan bahwa dia adalah seorang penganut paham Muhammadiyah yang cukup fanatik
Mungkin karena terlalu fanatiknya, dalam tulisannya itu, Sulhawi menjunjung setinggi langit Muhammadiyah dan HMI beserta orang-orangnya. Dan sebaliknya, ia memojokkan Jamiyah NU dan PMII beserta keberadaannya. Padahal, penilaiannya itu terlalu subyektif, mengada-ada, dan hanya dengan sebelah mata. Sulhawi tentunya hanya mendengar cerita tentang NU dan PMII dari orang luar, dan tidak pernah melihatnya sendiri secara langsung dan men dalam. Atau ibarat mendengar cerita tentang Amerika dan Iran hanya dari persn Barat saja, tetapi belum pernah menyaksikan sendiri keadaan yang sebenarnya terjadi dalam negara adikuasa dan negara yang dipimpin kaum Mullah di Teluk Persia itu.
Ungkapan Sulhawi yang saya nilai sangat subjektif itu ialah pernyataannya mengenai Muhammadiyah yang lahir 1912, Al Irsyad 1914, Persis 1922, dan NU 1926. Jarak antara Muharmadiyah dan NU berselang 14 tahun. Tentunya selisih waktu sepanjang itu berpengaruh terhadap kedewasaan berpikir seseorang. Dengan demikian, logislah jika terjadi perbedaan pendapat antara Muhammadiyah dan NU dalalm melihat segala persoalan yang ada di sekitarnya.
Dari yang tersurat itu, Sulhawi saya anggap terlalu ceroboh dalam mengambil kesimpulan-kesimpulan. Kedewasaan berpikir seseorang, maupun organisasi tentu tidak mutlak hanya ditentukan oleh perbedaan usia. Banyak terjadi di antara kita bahwa seseorang yang usianya masih relatif muda, namun karena adanya berbagai faktor lain, ia justru lebih dewasa cara berfikirnya daripada orang yang lebih tua daripadanya. Dan dari uangkapan itu pula, Sulhawi berkesimpulan bahwa dalam hal kedewasaan berpikir, Muhammadiyah lebih dewasa daripada NU, atau dengan kata lain paham NU dihasilkan dari penalaran yang kurang dewasa. Sebaliknya paham Muhammadiyah, menurut Sulhawi, merupakan hasil renungan yang betul-betul dewasa.
Muhammadiyah dan NU
Dibanding Muhammadiyah, NU memang lebih muda. Namun, sebenarnya, paham-paham yang diajukan keduanya sama-sama tua, setua ajaran Islam itu sendiri. Sebab, secara garis besar, paham Muhammadiyah merupakan kelanjutan dan fotokopi dari madzhab aliran) Imam Maliki Sedangkan, paham NU merupakan kelanjutan madzhab Imam Syafi'i. Kedua imam ini hidup pada abad pertama dan kedua hijriyah. Di antara kedua imam itu, Imam Maliki memang lebih tua daripada Imam Syafi'i. Tetapi kedua paham yang diajarkan oleh kedua imam itu, sebenarnya sama-sama bersumber dari Alquran dan Assunnah Nabi SAW. Sumbernya sarna, namun keduanya mempunyai interpretasi (penafsiran) yang berbeda, sesuai dengan alasan yang mereka pegang, dan saya kira juga tidak lepas dari keyakinan mereka masing-masing. Karena itu kurang tepat jika dikatakan bahwa Muhammadiyah lebih dewasa tetapi kiranya daripada NU. Sebab keduanya, sebenarnya, pelanjut ajaran yang satu, yaitu ajaran Islam itu sendiri.
Perbedaan interpretasiini, bisa dilihat bagaimana penafsiran kedua imam ini terhadap ayat 6 Surat Al Maidah (hidangan) dalam Alquran. Dalam ayat ini Allah menjelaskan beberapa hal yang bisa membatalkan wudlu. Salah satu diantaranya adalah firman Allah "aulaamastumun nisa". Firman ini, oleh Imam Maliki diartikan dengan 'bersebadan' dengan istri. Dengan pemahaman ini, maka menurut Imam Maliki, salah satu yang bisa membatalkan wudlu ialah bersepadan dengan istri. Sedangkan, yang hanya menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya, atau bersentuhan kulit dengan istri, tidak membatalkan wudiu. Untuk mendukung pendpatnya ini, Imam Maliki juga berpegang pada sebuah Hadits bahwa Nabi SAW pernah mencium salah seorang istrinya, lalu nabi mengerjakan shalat tanpa mengambil air wudlu lebih dulu.
Tetapi, menurut Imam Syafi'i, firman Allah itu diartikan dandiinterpretasikan dengan bersentuhan biasa, bukan bersetubuh. Sebab, menurut Imam Syafi'i, kata 'lamast um' berasal dari kata dasar laamasa' dalam bahasa Arab, yangberarti bersentuhan. Sedangkan untuk pengertian bersetubuh, bahasa Arab menggunakan kata 'jima'. Karena itu, menurut Imam Syafi'i, bagi lelaki yang menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya (perempuan yang halal dikawin), maka wudlunya dianggap batal. Tetapi, menurut Imam Syafi'i, firman Allah itu diartikan dan diinterpretasikan dengan bersentuhan biasa, bukan bersetubuh. Sebab, menurut Imam Syafi'i, kata 'lamastum' berasal dari kata dasar 'laamasa' dalam bahasa Arab, yangberarti bersentuhan. Sedangkan untuk pengertian bersetubuh, bahasa Arab menggunakan kat ima'. Karena itu, menurut Imam Syafi'i, bagi lelaki yang menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya perempuan yang halal dikawin, maka wudlunya dianggap batai
Pandangan Muhammadiyah tentang batalnya wudlu, sama persis dengan hasil interpretasi Imam Maliki itu. Begitu pula pandangan NU tentang ini, juga sama persis dengan hasil interpretasi Imam Syafi'i. Tetapi apakah kedua organisasi sosial keagamaan di Indoensia itu betul-betul menganut (menjiplak) hasil ijtihad kedua imam itu. Ataukah mereka berijtihad sendiri, tidak mudah memastikannya. Sebab, biasanya mereka akan marah-marah jika dikatakan menganut imam-imam terdahulu mereka. Dan, yang perlu diingat bahwa lebih dulunya Imam Maliki daripada Imam Syafi'i tidak menjamin bahwa hasil pemikiran Iraam Maliki lebih dewasa daripada hasil pemikiran Imam Syafi'i. Begitu pula Muhammadiyah yang lebih tua daripada NU, tidak menjamin bahwa tatapikir Muhammadiyah lebih dewasa daripada NU. Sebab, perbedaan pendapat itu semata-mata dikarenakan adanya perbedaan interprestasi belaka.
Ungkapan lain dari Sulhawi Rubba yang sangat kurang bijak adalah pernyataannya bahwa Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur) tidak memilih PMII sebagai tempat pengembangan intelektualnya, sebab di PMII tidak bisa berpikir secara bebas seperti di HMI. Segala gerak- gerak di PMII selalu dikendalikan oleh organisasi induknya yang dipimpin oleh para kiai dan ulama dari pondok pesantren. Di sini, Sulhawi terlalu ceroboh dalam mengambil kesimpulan. Seolah dia tahu persis bahwa alasan Cak Nur tidak memilih PMII itu karena di PMII tidak ada kebebasan berpikir. Apakah tidak ada kemungkinan lain, misalnya Cak Nur memilih HMI karena ia ingin tahu dunia HMI semata. Atau mungkin karena waktu itu PMII di Jakarta belum terkenal. Atau mungkin Cak Nur sengaja ingin hidup di alam baru yangberbeda dengan lingkungan asalnya (paham NU).
Kesimpulan
Usia Muhammadiyah jauh lebih tua daripada NU. Namun demikian, perbedaan pendapat yang terjadi antara kedua organisasi ini, khususnya mengenai berbagai penafsiran ajaran Islam, bukan disebabkan perbedaan kedewasaan tetapi pikiran semata. Perbedaan pendapat itu justru dikarenakan adanya perbedaan persepsi dan penafsiran di antara mereka. Perbedaan ini sudah mulai ada dan berkembang subur di zaman imam-imam madzhab.
Pada awal berdirinya, PMII memang merupakan onderbow NU. Namun, pada perkembangannya, sejak Juli 1972, ia menyatakan sikap independen, sebagai usaha untuk lebih mendinamisasi diri, demi menjawab berbagai tantangan zaman yarg dihadapinya.
Terciptanya ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam merupakan dambaan semua umat Islam, terutama kalangan intelektualnya. Karena itu, jangan sampai terjadi seorang intelek yang justru ikut mengibasi bara perpecahan itu.
Disadur dari : Falakh, Muhammad Fajrul. 1998. Bunga Rampai Citra Diri PMII. Yayasan Patria Nusantara. Yogyakarta.
0 Komentar