Gelar Kegiatan Perdana, Jadi Tolok Ukur Semangat Juang dalam Berorganisasi

PMII Komisariat Al Hidayat Lasem mempersembahkan kegiatan perdananya yang berlokasikan di STAI AL HIDAYAT Lasem. Kegiatan perdana tersebut mengusung sebuah film dokumenter yang berjudul “Tanah Ibu Kami” film ini memuat tentang berbagai perlawanan para perempuan untuk bergerak melawan pembangunan perusahaan tambang dan pembangunan semen gresik yang ada di berbagai wilayah atau kota yang dihadiri beberapa delegasi dari lima komisariat yang ada di Kota Rembang. ( 01/08/2021 )

Terbukti saat penayangan film dokumenter tersebut dalam memperlihatkan para pejuang wanita tangguh yang memperjuangkan kekayaan ibu bumi tercintanya. Sebut saja ada di Kota Rembang, tepatnya di Desa Tegaldowo Gunung Kendeng. Terdapat 9 kartini kendeng yang dipimpin oleh Sukinah, Lodia Oematan, Aletta, Eva Bande, dan Farwiza. Untuk menjadi garda terdepan benteng pertahanan dalam menghadang beberapa aparat, pejabat, preman, dan beberapa orang yang terkait dalam pembangunan pabrik semen dan tambang. Dengan berbagai usaha untuk mempertahankan kelestarian alamnya. 

Acara NOBSAMDISI ( nonton bareng sambil diskusi ) ini berjalan dengan seiring waktu. Dengan menghadirkan dua pemantik yang sangat luar biasa dalam memaparkan beberapa hal penting yang bisa disampaikan lewat penayangan film dokumenter itu. 

“Alasan kami mengadakan acara ini, sebetulnya untuk meningkatkan pemikiran atau pola pikir yang kritis untuk kader-kader kami, khususnya kader-kader perempuan kami yang notabene berkultur pondok pesantren. Dengan begitu, walaupun dengan latar belakang pondok pesantren, kader dapat meningkatkan sifat kritis dalam berorganisasi. Bukan hanya itu, tujuan saya untuk acara ini agar lebih erat tali silaturahmi antar komisariat yang ada di Kota Rembang yang mempunyai ciri khas dan berlatar belakang yang berbeda-beda.” Jawab Ayu Lestari selaku ketua komisariat Al-Hidayat Lasem.

 “Melalui diskusi ini kita tersadar, kartini berada di sekitar kita ( Yu Sukinah ) dengan memegang falsafah budayanya. Beliau berjuang melawan kapitalisme yang mengeksploitasi rakyat kecil. Kita sebagai mahasiswa bisa menjadikan beliau sebagai tokoh inspiratif untuk mencurahkan kemampuan intelektual kita para mahasiswa dalam berjuang membela rakyat yang tertindas.” Tandas Muhammad Nafis Irvan Fuadi selaku pemantik dan ketua komisariat Al-Kamal periode 2019/2020.

Bukan hanya sampai disitu saja, terdapat ulasan-ulasan penting yang diutarakan oleh pemantik kedua terkait dengan film “Tanah Ibu Kami” ini. Didalam diskusi pun, pemantik juga menyinggung soal bencana ekologis, kemandirian ekonomi, sebuah faham feminisme, serta pembahasan singkat terkait gender.

“Terkait bencana ekologis, saya sedikit menyinggung tepat di awal diskusi. Mengingat isu ini akrab dengan film yang ditayangkan. Perempuan di Kendeng, Mollo, Banggai dan Aceh dalam cuplikan film tersebut sebetulnya sudah memberi terang kepada kami, bahwa mempertahankan ruang hidup adalah hak. Kami juga mendapati terangnya kenyataan bahwa bencana lingkungan sebenarnya akan dengan sendirinya menghampiri apabila tanah atau yang sebelumnya adalah ruang hidup menjadi beralih guna dan fungsinya. Termasuk ketika masyarakat Kendeng yang menyaksikan sendiri dikeruknya gunung, masyarakat Banggai yang kekeringan, menjadi penerang bahwa bencana ekologis akan selalu menghampiri ruang-ruang yang telah di ekstraksi nilai lebihnya.” Jawab Elman Nafiah selaku pemantik diskusi serta Ketua Komisariat Sultan Agung periode 2018/2019.

Selanjutnya terkait jauhnya kemandirian ekonomi, sahabati Elman Nafiah selaku pemantik memberikan pemahaman mengenai kondisi kabupaten tetangga yang ada di Kota Tuban, adanya roda perekonomian yang diluar kendali masyarakat sehingga ruang pasar masyarakat terkurangi. Cukup banyak juga sebenarnya di daerah kami pekerja house worker yang tentu saja jauh dari haknya sebagai pekerja dan mengganggu aktivitasnya di dalam domestik. Peran ini menimpa dua kali kepada perempuan house worker yang juga tetap mengurus anak, mengurus domestik, dan tidak diakui statusnya sebagai pekerja. Pola-pola kerja yang semacam ini semakin membuat perempuan menerima beban berlipat, dan memberikan jalan bagi ekonomi ekstraktif untuk merampas pekerja-pekerja murah agar tetap bisa bertahan hidup. Dalam artian, perempuan menjadi korban dalam jumlah besar dalam akumulasi kapital.

Lain daripada pembahasan yang sebenarnya panjang diatas, salah satu perwakilan forum menanyakan terkait upaya untuk menolak fakta dan kondisi lapangan, termasuk berkaitan dengan kemandirian pangan dan pengelolaan mandiri sumber daya alam. Disana, narasumber sebetulnya ingin memberi pandangan bahwa kerja-kerja kampanye dan penanaman kesadaran, tidak bersifat denial dan menyadari keteledoran situasi hari ini adalah nyata adanya.

Hal tersebut yang kemudian membawa pada pembahasan UU PA. Tetapi karena waktu relatif singkat, narasumber memberi rujukan tokoh Agraria, adalah Gunawan Wiradi, yang mana beliau pernah menerapkan reforma agraria secara mikro dan mengatasi persoalan yang ada di UU PA, termasuk menghindari sengketa melalui kembalinya keputusan pembagian tanah sesuai dengan kesepakatan masyarakat yang akan menerimanya.

“Maka sudah sewajarnya perempuan dilibatkan dalam setiap kerja-kerja kolektif, memberikan keputusan, maupun solusi, bukan hanya berputar pada urusan domestik semata. Lebih dari pada semua urusan di atas, sejatinya tidak ada yang bisa memfinalkan kondisi perempuan yang seharusnya, kecuali bersama-sama membangun masyarakat yang berkesadaran dan memberikan ruang untuk semua golongan gender.” Lanjut Elman. 

Penulis : Ayu Lestari


0 Komentar